Senin, 29 Maret 2010

PELAKSANAAN UN 2010

Gembar-gembor pemerintah yang menyatakan bahwa pelaksanaan UN tahun ini adalah yang paling ketat ternyata berbeda dalam kenyataan di lapangan.

Praktek-praktek kecurangan dalam UN masih saja terus terjadi. Apa yang akan saya tuliskan ini tidak memiliki bukti yang nyata, tetapi dari apa yang saya dengar baik dari murid maupun dari guru sendiri. Saya tidak akan menyebutkan nama siapapun baik nama orang maupun nama sekolah, saya hanya ingin menuliskan uneg-uneg saya sebagai seorang guru. Anda boleh menganggap ini hanya asal ngomong saja tanpa bukti. Toh tidak ada yang akan tersinggung karena saya tidak menyebutkan nama atau institusi.

Praktek-praktek kecurangan yang terjadi selama UN 2010 berlangsung yaitu :

1. Beredarnya kunci-kunci jawaban melalui sms.
Memang sudah disiasati bahwa soal berbeda untuk setiap rayon, sehingga ada murid yang memberi kesaksian bahwa sebelum UN dirinya sudah mendapatkan 7 versi jawaban yang berbeda! Yang menjadi masalah disini bukanlah perbedaan kunci2 jawaban itu, tapi mengapa kunci jawaban itu bisa menyebar jika soal-soal UN dijaga dengan sedemikian ketat (katanya). Bahkan diantara kunci2 jawaban tersebut ada yang tepat hingga 90 persen lebih. Katanya tidak dibuat 100% benar agar tidak dicurigai. Weleh-weleh..., dari pengalaman tahun lalu sih, kunci jawaban yang menyebar itu ada yang benar 100%, bahkan ada yang nilai UN fisikanya dapat 100, padahal ada beberapa soal UN Fisika yang gak ada jawabannya sehingga tidak tahu jawaban di scanner komputer jawab apa, tapi bisa dapat 100, luar biasa....

2. Guru yang mengerjakan soal lebih dulu
Ada sekolah yang gurunya disuruh datang jam setengah 6 supaya bisa mengerjakan soal dulu karena soal sudah diambil dari jam 5 pagi. Tidak perlu menjawab semua soal, yang penting cukup untuk membuat siswa bisa lulus saja, atau cukup untuk membuat siswa mengetahui ketepatan jawaban dari berbagai versi jawaban yang telah mereka peroleh sebelumnya. Jawaban dari guru ini disebar melalui sms kepada siswanya dengan pesan supaya disebarkan secara berantai kepada siswa yang lain. Luar Biasa....

3. Membeli soal UN
Ada sekolah-sekolah yang bergabung untuk dapat membeli soal sebelumnya. Ada juga pribadi-pribadi siswa yang kaya yang bisa membeli soal sebelumnya. Dari yang saya dengar sih harganya 4 juta per soal. Luar biasa... Entah darimana atau dari siapa mereka bisa membeli soal...

Untuk kecurangan guru yang memperbaiki jawaban siswa sudah tidak saya dengar lagi (mungkin ada tapi saya gak tau), mungkin karna makin ketatnya penyerahan Jawaban LJK dan LJK yang harus di lem di ruang ujian sehingga tidak ada waktu untuk memperbaiki jawaban siswa. Meskipun demikian, kecurangan tetap ada seberapa ketatpun pelaksanaan UN ini.

Saya bertanya-tanya, apa gunanya persiapan-persiapan UN sepanjang tiga bulan pertama di tahun 2010 ini. Persiapan2 yang membuat kepala siswa pening dan tertekan, juga gurunya juga ikutan tegang dalam mempersiapkan siswa. Bahkan banyak guru yang berkata: "Anaknya santai2 aja tuh, kok malah kitanya yang tegang mikirin mereka?"

Lalu apa gunanya UN ini sebenarnya? Semuanya hanyalah proyek-proyek yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Berapa besar uang negara yang digunakan untuk UN ternyata dan tidak memberikan hasil yang sesuai kualitas siswa yang sebenarnya. Sebagai guru fisika yang mengajarkan fisika kepada kelas XII IPA, tentu saya sudah mengetahui dengan jelas sampai dimana kemampuan siswa sebenarnya, tapi nilai UN memberikan hasil yang berbeda. Siswa yang kurang dalam kemampuan fisikanya bisa memperoleh nilai 8 sampai 9, bahkan ada yang dapat 10! Sebagai guru saya hanya bisa tersenyum masam karena guru di sekolahlah yang mengetahui sampai dimana kemampuan seorang siswa yang sebenarnya. Apakah saya bangga dengan nilai itu? Saya hanya mengelus dada karena saya tau siswa saya sedang melakukan cara-cara yang tidak jujur dan sedang ditipu mentah-mentah oleh sistem UN ini. Bagaimanakah masa depan bangsa ini dengan mereka sebagai bibit-bibit yang akan memimpin bangsa ini ke depan?

Jika ditinjau dari pihak sekolah, tentu ketidaklulusan siswa akan menjadi 'aib' bagi sekolah tersebut. Ini berkaitan dengan siswa baru yang akan mendaftar yang tentu saja akan berkurang karena 'aib' tersebut. Ini menyangkut keuangan yang akan menurun, lalu merambat ke pembangunan, gaji guru honor dan staff, dan lain-lain. Belum lagi jika melihat sekolah-sekolah lain yang berbuat curang sehingga muridnya lulus semua, tentu ada rasa minder. Belum lagi jika melihat maraknya demo yang menentang UN yang menyalahkan sistem UN. beberapa guru memiliki filosofi : Kalo di atasnya aja udah bobrok, kita juga harus ikutan menyesuaikan, kalo tidak kita sendiri yang akan tenggelam kalau kita mau jujur. JIka melihat dari sisi siswa yang tidak lulus, tentu guru akan sakit hati, karena mereka tidak lulus sekolah (mimsalnya) hanya karena satu mata pelajaran yang gagal, sementara yang lainnya baik semua. Ini suatu ketidakadilan. Gurulah yang tahu dengan jelas siapa yang sudah mencapai kompetensi dan yang belum. Siswa yang tidak lulus harus mengikuti ujian persamaan lain yang akan merugikan mereka karena terhambat mendaftar ke perguruan tinggi yang lainnya. Juga ujian persamaan ini adalah paket C yang ditujukan bagi mereka yang terganggu sekolahnya karena hal-hal lain (sakit berkepanjangan, tidak ada biaya sekolah, cacat tubuh, dll.) Rasanya sangat tidak adil jika siswa yang telah dibina susah payah selama tiga tahun harus lulus dengan ijazah paket C. Adilkah ini???

Saya, sebagai guru yang menyentuh proses pembelajaran kepada siswa secara langsung, sangat menyarankan agar sistem UN dihapuskan saja dan diganti dengan sistem lain, misalnya seperti sistem Ebtanas yang dilakukan sebelum sistem UN ini muncul, tetapi itu adalah hak dari para pemegang jabatan di bidang pendidikan yang ada di pemerintahan. Hanya saja saya melihat ada satu segi positif dari sistem UN ini yang saya rasakan, yaitu UN mengungkapkan bahwa banyak dari kita ini sebenarnya 'sakit' melalui kecurangan-kecurangan yang terjadi. Tanpa UN, 'sakit'nya kita ini tidak akan terungkap. UN tidak membuat kita menjadi 'sakit', tetapi membuat 'sakit'nya kita menjadi kelihatan, sehingga kita tau apa yang harus dibuat dalam pembinaan selanjutnya, baik dalam membina diri sendiri maupun dalam membina siswa kita. (MNL).