Minggu, 20 Maret 2011

CURHAT UN 2011

Pelaksanaa UN tahun 2011 ini berbeda dengan pelaksanaan UN sebelumnya, karena ada beberapa hal pokok yang membedakan, yaitu :

1. Nilai kelulusan tidak lagi ditentukan semata-mata oleh hasil UN, tetapi merupakan gabungan dari Nilai UN dan Nilai Akhir dari Sekolah dengan perbandingan 60% dan 40% (tetap memberikan titik berat pada nilai UN)
2. Nilai sekolah melibatkan seluruh mata pelajaran, baik yang di-UN-kan maupun yang non-UN, sehingga Ujian Akhir Sekolah melibatkan seluruh mata pelajaran
3. Nilai Ujian Akhir Sekolah akan digabungkan dengan nilai raport semester sebelumnya. Untuk mata pelajaran UN akan digabung dengan nilai semester 3, 4 dan 5 (semester 1, 2 dan 6 kok nggak ya?)
4. Soal UN akan menjadi 5 tipe soal dalam satu ruangan yang sama (ribet ngebagi soalnya yach..), yang sebelumnya hanya 2 tipe saja!

Kira-kira itu poin-poin penting yang membedakan UN tahun ini dengan UN tahun-tahun sebelumnya (yang sebenarnya perbedaannya masih banyak sih, tapi untuk gambaran poin di atas sudah cukup mewakili).

Melalui kebijakan UN yang baru ini, pemerintah berharap bahwa aspirasi masyarakat sudah terpenuhi (yaitu kelulusan tidak hanya dinilai dari UN saja) dan juga semakin memperkecil kebocoran soal UN (yang menjadi 5 tipe dalam satu ruangan). Yang menjadi pertanyaan, apakah memang benar demikian?

Menanggapi pertanyaan saya tersebut di atas, maka saya akan menjawab sendiri dengan pendapat saya.

Apakah aspirasi masyarakat sudah terpenuhi? Jawaban saya TIDAK!!! Mengapa demikian? Karena aspirasi masyarakat sebenarnya adalah meniadakan UN! Bukannya menggabungkan nilai UN dengan nilai sekolah. Bahkan setelah digabungkanpun nilai UN masih terasa sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kelulusan siswa dengan persentase yang mencapai 60%. Belajar susah payah selama tiga tahun hanya dihargai dengan 40%. Sungguh tidak adil! Sementara yang membuat soal UN tidak mengetahui kondisi lapangan di tiap sekolah, mereka membuat soal UN yang sesuai dengan kisi-kisi yang sudah diedarkan, tetapi apakah kemampuan siswa sesuai dengan kisi-kisi tersebut? Tentu tidak! Apakah sekolah yang salah sehingga tidak mengajarkan hal tersebut? Sekolah tidak salah! Mengapa? Karena kurikulum KTSP! KTSP adalah kurikulum yang bergantung sekolah yang bersangkutan. Materi pembelajaran disesuaikan dengan kondisi sekolah, kondisi siswa dan kondisi guru. Itulah yang disebut dengan KTSP. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya yang harus sesuai apa yang dikurikulumkan oleh pusat harus diajarkan ke siswa. Kurikulum KTSP melihat keunggulan dan kelemahan sekolah, meskipun KTSPpun memiliki kriteria kurikulum minimal. Tetapi apakah UN hanya menyentuh kurikulum minimal saja? Sama sekali tidak. Kalau kita mau memperhatikan soal-soal UN, banyak soal yang isinya jauh dari kurikulum minimal tersebut, karena pengertian minimal untuk setiap orang akan berbeda. Jadi kesimpulannya, untuk kurikulum KTSP yang berlaku sekarang, sangat tidak tepat jika dibuat ujian nasionalnya (UN). Hasilnya tidak akan sama rata untuk semua daerah dan semua sekolah sedangkan kriteria kelulusan disamaratakan. Sistem UN sangat tidak adil untuk kurikulum KTSP yang berlaku sekarang.

Kemudian yang sangat menyedihkan bagi saya adalah usaha sekolah/para guru supaya peserta didiknya lulus UN. Kalau cara cara dulu adalah membeli soal lebih dulu, menjawab soal di pagi harinya lalu diberi jawabannya ke siswa (lewat SMS atau disimpan di toilet), memperbaiki jawaban siswa setelah dikumpulkan LJK-nya, dll. Tahun ini cara-cara tersebut sulit dilakukan karena tipe soal sudah menjadi 5, ini cukup menyulitkan, karena itu dipikirkan cara lain, yaitu memperbesar nilai Sekolah yang akan digabungkan dengan nilai UN!

Karena telah melihat dari tahun-tahun sebelumnya bahwa tanpa bantuan akan banyak perserta didik yang tidak akan lulus, maka tahun ini para guru tidak akan banyak berharap dari nilai UN, tetapi akan mengolah sedemikian rupa sehingga meskipun nilai UN jelek (misalnya dapat 4), tetapi nilai US-nya diperbagus sehingga siswa bisa tetap lulus dengan cara membuat nilai Sekolahnya menjadi minimal 8, sehingga nilai akhir minimal bisa di atas 5,5.

Akhirnya berbagai cara ditempuh. Karena nilai kelas X dan XI yang sudah ditulis di raport tidak bisa diubah, maka kelas XII semester 1 yang diotak-atik sehingga gabungan nilai semester dapat diperoleh nilai setinggi-tingginya. Kemudian nilai gabungan semester ini harus digabung dengan nilai sekolah! Maka untuk Ujian Sekolah pun guru-guru mengatur cara sehingga nilainya bisa minimal 8. Salah satu cara yang ditempuh adalah memberikan soal US-nya ke anak dan dibahas di kelas sebelumnya sehingga untuk Ujian Sekolah resminya anak tinggal menghafal soal dan jawabannya saja supaya nilai minimal bisa delapan. Jika tetap saja ada anak yang nilainya tidak mencapai yang diharapkan, maka sekolah dengan kebijakannya akan mengubah sendiri jawaban anak di LJK (dihapus yang salah dan dihitamkan jawaban yang benar) sehingga ketika diperiksa atau di scan nilai memenuhi harapan. Kepada siswa mungkin akan dilakukan ujian ulangan yang sebenarnya tidak memiliki arti karena anak tersebut sudah punya nilai di sekolah. Ada tim-tim sukses yang tersembunyi disiapkan oleh sekolah untuk menolong nilai siswa.

Kemudian untuk antisipasi tahun berikutnya, nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) setiap mata pelajaran harus diubah semakin tinggi, minimal 7 untuk semua mata pelajaran, sehingga nilai minimal anak di raport pasti 7 supaya ketika siswa akan UN guru tidak terlalu repot lagi untuk ‘menaikkan’ nilai siswa.
Cara-cara yang ditempuh ini didasarkan pada pembenaran bahwa sekolah menolong siswa supaya bisa lulus UN. Jika banyak yang tidak lulus tentu akan berpengaruh pada performa sekolah, yang akan menyebabk-an semakin rendahnya penerimaan siswa di tahun ajaran mendatang dan akhirnya akan berpengaruh pada dana yang diterima sekolah.

Lucunya, cara ini sama sekali tidak menolong untuk menaikkan kemampuan siswa. Sama sekali tidak! Cara-cara ini hanyalah usaha supaya siswa lulus UN tanpa mempedulikan apakah siswa memahami pelajaran atau tidak! Siswa yang sehari-harinya memiliki kemampuan kurangpun akan merasa tenang-tenang saja karena sekolah pasti akan berusaha menaikkan nilainya.

Juga yang sangat menyedihkan, antara pihak Sekolah dan pihak di atasnya sudah tahu sama tahu, pihak di atasnya tidak mau menyuruh sekolah melakukan hal-hal tersebut tetapi memberi sinyal dan kesempatan supaya hal itu harus dilakukan demi menjaga nama sekolah dan menolong siswa.

Sebagai guru saya merasakan penderitaan batin, dimana siswa dituntut harus lulus tetapi cara-cara yang tidak benar juga harus dilakukan. Guru yang terus menyuarakan kejujuran ternyata dipaksa untuk berlaku tidak jujur demi anak dan demi sekolah. Saya sangat yakin semua guru akan mengalami penderitaan batin yang sama. Manakah yang harus diutamakan, kelulusan siswa atau kompetensi siswa?

Mungkin beberapa analis akan menjawab bahwa dua-duanya harus dilakukan, siswa lulus harus dengan kompetensi yang sesuai, artinya gurulah yang harus berusaha dengan keras memperhatikan dan menaikkan kompetensi siswa. Memang ngomong itu gampang, cobalah mereka sendiri yang terjun di lapangan, cobalah mereka sendiri yang mendidik siswa, maka saya yakin mereka tidak akan semudah itu mengeluarkan pernyataan di atas. Buktinya adalah banyak sekolah yang melakukan apa yang saya tuliskan di atas. Mengapa demikian? Sekali lagi jawaban saya adalah sistem UN sama sekali tidak sesuai dengan sistem KTSP yang diterapkan di sekolah!

Contoh: Nilai KKM yang dikeluarkan oleh seorang guru untuk mata pelajaran yang diajarnya. Nilai KKM ini besarnya tergantung pada tiga hal, yaitu: Kemampuan peserta didik, tingkat kesulitan bab yang diajarkan dan saran pendukung (mis: sarana praktek, sarana mengajar, alat peraga, kemampuan dan pendalaman guru, dll). Hal-hal ini akan menjadikan nilai KKM mata pelajaran yang sama akan berbeda untuk sekolah yang berbeda. Misalnya di sebuah sekolah nilai KKM mata pelajaran Fisika Kelas XI semester I setelah melalui analisis yang mendalam mendapat nilai sebesar 62 (artinya ini nilai minimal yang harus dicapai anak agar lulus Fisika), tetapi sekolah lain bisa saja memiliki nilai 68, karena lain padang lain juga belalangnya. Soal-soal dan pendalaman setiap bab yang diberikanpun tentu tidak akan sama. Ini boleh-boleh saja karena inilah yang disebut kurikulum KTSP. Siswa yang tidak pandai dalam berhitung tetapi pandai dalam olahraga akan diarahkan untuk meningkatkan kompetensi olahraganya dan kompetensi berhitungnya minimal mencapai KKM saja. Ini yang ada dalam kurikulum KTSP. Anak tidak dipaksakan harus brilian dalam semua mata pelajaran, tetapi diarahkan sesuai minat dan bakatnya. Inilah salah satu kegunaan nilai KKM, yaitu nilai minimal yang harus dicapai anak supaya dikatakan lulus dalam mata pelajaran tertentu. Tetapi sistem UN sama sekali tidaklah menghargai sistem KTSP dengan menyamaratakan semua soal misalnya soal fisika (yang belum tentu semua sekolah mengajarkan soal tersebut kepada siswanya karena pendalaman materi akan berbeda-beda sebab sistem kurikulumnya berbasis KTSP). Meskipun pembuat soal berdalih bahwa soal-soal yang disiapkan semuanya sesuai SKL (Standar Kompetensi Lulusan), tetapi tetap saja kalau kita melihat SKL, isinya sangat umum, artinya dari satu SKL bisa dibuat ribuan soal dengan tingkat pendalaman materi yang sangat bervariasi yang belum tentu semua sekolah mengajarkan hal tersebut!

Inilah yang menyebabkan saya berkesimpulan bahwa sistem UN sama sekali tidak sesuai dengan kurikulum KTSP. Jika memang sesuai aturannya, pemerintah merupakan salah satu pihak yang menilai kelulusan siswa, janganlah memakai sistem UN, gantilah dengan sistem lain yang lebih sesuai dengan sifat kurikulum KTSP, atau gantilah sistem kurikulum KTSP sehingga lebih sesuai dengan sistem UN. Kurikulum KTSP dan sistem UN yang dipakai ini menyebabkan rusaknya sistem pendidikan, munculnya berbagai kecurangan yang merusak siswa dan guru itu sendiri, dan bagaimana jadinya siswa yang belum berkompeten tetapi diatur sedemikian rupa supaya lulus dengan nilai yang jauh di atas kompetensinya? Tentu hasilnya akan sangat menyedihkan ke depannya. Indonesia sedang mempersiapkan satu generasi pemimpin masa yang akan datang yang tidak memiliki integritas dan karakter. Betapa menyedihkan jika negara ini rusak karena anak mudanya sebagai calon pemimpin masa depan disiapkan dalam kondisi yang rusak.

Beranikah sekolah tidak meluluskan siswanya yang memang belum berkompeten?

Beranikah pemerintah mengganti sistem UN atau mengganti kurikulum KTSP sehingga lebih sesuai satu sama lain?

Keberanian ini akan mengubah wajah bangsa ini di masa depan.

Perubahan memang selalu menyakitkan, tetapi tanpa perubahan masa kini maka masa depan tidak akan pernah berubah.